Kamis, 22 Maret 2012

Ilmu Mantiq Logika











BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian Ilmu Mantik
Kata manthiq (bahasa Arab) berasal dari kata nathaqa -  yanthiqu – nuthqan/manthiqan (نطق  -  ينطق – نطقا ومنطقا   ). Jadi kata manthiq adalah mashdar mimiy dari nathaqa yanthiqu, yang artinya berkata, bertutur atau berbicara.[1] Mantiq sepadan artinya dengan logika, yang diturunkan dari kata sifat logike (bahasa Yunani) yang berhubungan dengan kata benda logos yang artinya pikiran atau kata sebagai pernyataan dari pikiran. Ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara perkataan dengan pikiran.[2] Dengan demikian mantiq atau logika berarti berkata atau berbicara dengan menggunakan pikiran.
Kata nathaqa terdapat dalam al-Qur’an, salah satunya dalam bentuk kata kerja untuk masa sedang dan akan datang (fi’il mudhari’), yaitu  pada ayat 3 surat al-Najm.
وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى   (النجم ۳)
Artinya: Dan Muhammad itu tidaklah menuturkan (al-Qur’an) karena keinginan dirinya, melainkan yang ia sampaikan itu adalah wahyu yang diwahyukan (Allah kepadanya).

            Secara sederhana mantik berarti ucapan yang benar atau tutur kata yang mengandung kebenaran. Selain kata mantik juga dikenal kata logika. Istilah logika berasal dari bahasa Yunani, logos yang artinya perkataan, uraian, penuturan dan alasan.
            Kata logika sering terpakai atau terdengar dalam keseharian. Pengertian secara singkat ialah sesuatu itu masuk akal atau tepat menurut akal. Jika sesuatu tindakan atau yang terjadi itu sesuai menurut akal atau masuk akal maka dinamakan dengan logis. Seperti, pendapat dan tindakannya itu logis. Atau sebaliknya, pendapat dan tindakannya itu tidak logis. [3]
Bila seseorang memperoleh keuntungan besar dalam suatu peristiwa, seperti orang-orang yang banyak menabung emas pada saat harga emas merangkak naik menurut semestinya mereka akan gembira atau senang. Sebab emas yang telah mereka beli itu harganya bertambah mahal dibanding pada waktu mereka membelinya. Artinya mereka memperoleh kelebihan harga (keuntungan) dari peristiwa itu. Bukan sebaliknya, menjadi sedih. Sedangkan orang-orang yang dirugikan oleh kondisi itu, karena menabung uang di celengan yang semula akan dipakai untuk membeli emas tetapi belum sempat membelinya, semestinya merasa rugi. Sebab jumlah gram emas yang akan diperoleh akan berkurang. Jika yang terjadi adalah sebaliknya yakni para penabung emas menjadi sedih sedangkan si penabung uang di celengan menjadi gembira dengan naiknya harga emas, maka kenyataan mereka itu tidak logis. Contoh lainnya, bila polisi menangkap seorang pelaku perampokan, yang tengah beraksi, lalu setelah perampok itu dibawa ke kantor polisi ternyata ia dibebaskan oleh polisi tanpa diproses terlebih dahulu. Atau jika para koruptor dibebaskan dari hukuman oleh majelis hakim di pengadilan padahal bukti-bukti atas kejahatannya terlihat kuat. Maka tindakan polisi itu atau hakim di pengadilan tersebut dikatakan tidak logis. Orang yang menginginkan kebenaran tentu akan terpancing untuk menganalisa kenapa sebuah peristiwa itu terjadi secara tidak logis. Ada apa sebenarnya. Apa sebenarnya yang disembunyikan? Demikianlah secara sederhana kata logis sering dipergunakan untuk pengertian “masuk akal” atau “dapat diterima akal sehat” (al-ma`qul `alaih).
Adapun pengertian logika menurut istilah ialah suatu metoda atau teknik  yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran.[4] Untuk memahami apa sebenarnya logika itu maka harus dikenal terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan penalaran itu sendiri? Penalaran, menalar atau nalar berarti menganalisa, atau sebuah bentuk upaya berpikir atas sesuatu.
Dalam bahasa Arab nalar itu disebut dengan kata fakara (berpikir), yakni upaya untuk mengetahui dan memahami sesuatu menurut apa adanya. Sedangkan ilmu logika disebut dengan ilmu manthiq, yaitu suatu ilmu tentang kaidah-kaidah yang membimbing manusia dalam berfikir agar terhindar dari kekeliruan dan tidak salah dalam menarik kesimpulan.
(قوا عد يسترشد بها الإنسان في تفكيره ليأمن من الزلل وتسلم معلوماته من الخطاء[5] )
Bentuk berpikir mulai dari yang sederhana ialah adanya pengertian, adanya pernyataan dan adanya penalaran. Hakekat penalaran ialah suatu proses berpikir dalam menarik kesimpulan pengetahuan. Penalaran itu adalah aktivitas berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran (proses menemukan kebenaran). Produk dari penalaran ialah adanya pengetahuan yang berkaitan dengan aktivitas berpikir, bukan aktivitas emosi. Sebagai aktivitas berpikir, penalaran terbagi kepada dua ciri. Pertama adanya pola berpikir yang disebut logika atau proses berpikir logis. Kedua, adanya sifat analitik dari proses berpikir manusia. Berpikir adalah suatu aktivitas untuk menemukan pengetahuan yang benar atau kebenaran. Namun tidak semua aktivitas berpikir manusia adalah bersifat logis atau analitis. [6]

B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Mantik

            Ilmu Mantik yang merupakan terjemahan dari Ilmu Logika adalah hasil karya para filosof Yunani sejak abad ke-4 SM. Kaum Sofis, Socrates dan Plato adalah perintis lahirnya Logika. Sedangkan Logika lahir sebagai suatu ilmu adalah atas jasa Aristoteles, Theoprostus dan kaum Stoa.[7]
            Aristoteles (384-322 SM) sebagai peletak dasar Ilmu Logika, meninggalkan enam buah buku yang oleh murid-muridnya disebut Organon. Buku tersebut terdiri dari :
1.      Categoriae (mengenai pengertian-pengertian)
2.      De Interpretiae (mengenai keputusan-keputusan)
3.      Analitica priora (tentang silogisme atau menarik kesimpulan)
4.      Analitica posteriora (tentang pembuktian)
5.      Topika (mengenai berdebat)
6.      De Sophisticis Elenchis (tentang kesalahan-kesalahan berpikir).

Buku-buku inilah yang kemudian menjadi dasar Logika Tradisional. Theoprostus mengembangkan Logika Aristoteles ini, sedangkan kaum Stoa mengajukan bentuk-bentuk berpikir yang sistematis.[8]
            Pada abad ke-8 Masehi, ketika agama Islam telah tersebar di Jazirah Arab dan dipeluk secara meluas sampai ke timur  dan barat, perkembangan ilmu pengetahuan pun mengalami kemajuan yang pesat. Puncaknya terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah Harun al Rasyid dan Al-Makmun. Pada masa itu terjadi penerjemahan ilmu-ilmu filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, termasuk Ilmu Logika. Ilmu ini sangat menarik perhatian kaum muslimin pada saat itu sehingga dipelajari secara meluas.   Di antara mereka kemudian menulis buku Ilmu Mantik dan mengembangkannya. Dalam berbagai segi, mereka mengislamisasikan ilmu logika melalui contoh-contoh yang mereka munculkan. Ilmu Mantik tidak saja digunakan untuk mempertajam dan mempercepat daya pikir dalam menarik kesimpulan yang benar, tetapi juga membantu mengokohkan hujjah-hujjah agama dalam persoalan akidah.[9]
Di antara ulama dan cendekiawan muslim yang mendalami Ilmu Mantik dan menulis buku tentang mantik adalah Abdullah ibn al-Muqaffa’, Ya’qub  ibn Ishaq al-Kindi (185 H-260 H/801 M-873 M), Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi (251 H-313 H/865 M- 925 M), Abu Nasr al-Farabi (258 H-339 H/870 M-950 M), Ibnu Sina (370 -428 H/980-1037 M), Abu Hamid al-Ghazali, Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1198 M), al-Qurthubi dan lain-lain. [10] Al-Farabi kemudian dikenal sebagai Guru Kedua Logika setelah Aristoteles. Karya-karya Al-Farabi dibagi menjadi dua, mengenai logika dan filsafat. Karya-karya tentang Logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari Organon-nya Aristoteles, baik yang berbentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah.[11]           
Selain Al-Farabi, juga dikenal Ibnu Sina sebagai Guru ke tiga Logika. Buku Logika Ibnu Sinaditerjemahkan ke dalam bahasa Latin di penghujung abad ke-12. Yang lainnya adalah karya logika Ibn Rusyd di awal abad ke-14. Terjemahan inilah yang disebarkan di Paris (Perancis) dan Oxford (Inggris).[12]
Pada masa kemunduran ilmu pengetahuan di dunia Islam, timbullah berbagai kritikan terhadap Ilmu Mantiq/  Logika karena dianggap logika sebagai penyebab lahirnya paham-paham zindiq (atheis) karena terlalu memuja akal fikiran di dalam mencari kebenaran. Sebagian ulama kemudian mengharamkan mempelajari ilmu logika, seperti Imam an-Nawawi (1233-1277 M), Ibnu Shilah (1181-1243 M), Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) dan Sa’adduddin at-Taftazani (1322-1389 M).[13]
Pengaruh fatwa tersebut sangat kuat di kalangan umat Islam, sehinnga kegiatan dan perkembangan alam fikiran dunia Islam mengalami kemacetan dan kebekuan. Sementara dunia Barat sedang gembira menyambut zaman Kebangunan (Renaissance) di Eropa (abad 13-14 M).
Menjelang penghujung abad ke-19 bangkitlah gerakan pembaharuan dunia Islam yang dipelopori Jamaluddin al-Afghani,Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Sejalan dengan itu  perhatian penuh terhadap logika muncul kembali di Mesir.
Di Indonesia, Ilmu Mantik pada mulanya dipelajari secara terbatas di perguruan-perguruan agama dan pesantren. Ilmu Mantik sampai ke Indonesia bersama ilmu-ilmu agama lainnya yang dibawa oleh pelajar-pelajar muslim yang belajar di Timur Tengah.
Ilmu logika baru dipelajari lebih luas setelah diperkenalkannya buku Madilog karangan Tan Malaka yang terbit tahun 1951. Pada tahun 1954 Ilmu Mantiq telah dipelajari secara lebih luas dan dimasukkan ke dalam kurikulum perguruan tinggi.[14]
           
C. Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Mantik
            Sebagaimana dalam penjelasan yang telah lalu bahwa Ilmu Mantik adalah ilmu tentang kaidah-kaidah/ hukum-hukum berfikir, maka lapangan pembahasan nya adalah tentang fikiran-fikiran dan mencari dalil untuk menghasilkan ilmu pengetahuan. Untuk mencari dalil tersebut disusunlah kata-kata dan susunan kata-kata tersebut dalam mantik disebut dengan qadhiyah. Oleh karena itu pembahasan ilmu mantik dimulai dari mengetahui lafaz-lafaz yang akan menyusun qadhiyah-qadhiyah dan kemudian barulah dapat ditarik kesimpulan sebagai dalil.
            Dengan demikian lapangan pembahasan ilmu mantik itu tersimpul dalam 3 pembahasan, yaitu :
  1. Pembahasan Lafaz (kata)
  2. Pembahasan Qadhiyah (proposisi)
  3. Pembahasan Istidlal (silogisme)

D. Manfaat Ilmu Mantik

            Ilmu Mantik yang bertujuan membimbing manusia ke arah berfikir benar, logis dan sistematis mempunyai manfaat yang banyak. Di antaranya dapat dikemukakan sebagai berikut :
  1. Membuat daya fikir menjadi lebih tajam dan berkembang melalui latihan-latihan berfikir. Oleh karenanya akan mampu menganalisis serta mengungkap permasalahan secara runtun dan ilmiah.
  2. Membuat seseorang berfikir tepat sehingga mampu meletakkan sesuatu pada tempatnya dan mengerjakan sesuatu tepat pada waktunya (berfikir efektif dan efisien).
  3. Membuat seseorang mampu membedakan alur pikr yang benar dan alur pikir yang keliru, sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang benar dan terhindar dari menarik kesimpulan yang keliru.

E. Pembagian Ilmu Mantik

Ilmu Mantik/Logika dapat dikelompokkan menjadi beberapa pembagian menurut beberapa segi tinjauan. Dari segi kualitasnya, dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1.       Mantiq al-Fitri (Logika Naturalis), yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akal bawaan manusia. Akal manusia yang normal dapat bekerja sesuai hukum-hukum logika dasar. Namun kemampuan logika naturalis setiap orang berbeda-beda tergantung dari tingkat pengetahuannya. Untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupannya manusia dapat berpikir sesuai dengan tingkat pengetahuannya. Tapi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang rumit, yang tidak bisa diatasi oleh mantiq al-fitri, manusia menyusun patokan-patokan dalam berpikir.
2.       Mantiq as-Suri (Logika Artifisialis/Logika Ilmiah), yaitu logika yang disusun berdasarkan patokan-patokan, rumus-rumus berpikir yang bertugas membantu kemampuan logika alamiah manusia, agar lebih tajam, halus dan dapat berfikir lebih teliti, efisien dan mudah[15]. Mantiq inilah yang menjadi pembahasan kita.

Dilihat dari metodenya, dapat dibedakan menjadi 2 pula, yaitu:
1.        Mantiq al-Qadim (Logika Tradisional), yaitu : logika yang disusun berdasarkan metode logika Aristoteles, yang sudah ada sejak abad ke-4 SM.
2.        Mantiq al-Hadits (Logika Modern), yaitu logika yang ditemukan kemudian yang berbeda dari metode logika Aristoteles,yang dimulai sejak Raymundus Lullus menemukan metode baru logika yang disebut Ars Magna pada abad XIII M .[16]

Dilihat dari obyeknya, dikenal 2 pembagian, yaitu :
1.       Mantiq as-Suwari (Logika formal), yaitu corak logika yang menggunakan cara berpikir deduktif (dari kebenaran umum menuju permasalahan khusus). Logika formal mempelajari dasar-dasar persesuaian dalam pemikiran dengan menggunakan hukum-hukum, rumus-rumus dan patokan berfikir benar.
2.       Mantiq al-maddi (Logika material), yaitu corak logika yang menggunakan cara berfikir induktif  (dari peristiwa-peristiwa khusus ditarik kesimpulan umum). Logika material mempelajari dasar-dasar persesuaian pikiran dengan kenyataan. Ia menilai hasil kerja logika formal dan menguji benar tidaknya dengan kenyataan empiris.[17]
Cabang logika formal disebut juga dengan Logika Minor, dan logika material disebut juga dengan Logika Mayor.


















[1]Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir , (Surabaya ; Pustaka Progressif, 1997), Cet. Ke-19, h. 1432
[2] Partap Sing Mehra, Pengantar Logika Tradisional, Cet. ke-5, (Bandung : Binacipta, 1996), h.1
[3] R.G. Soekadidjo, Logika Dasar, Tradisional, Simbolik dan Induktif,  Jakarta:GramediaPustaka Utama, cet keVIII . 2001, h. 3-6
[4] Ibid, h.3
[5] Muhammad Nur al-Ibrahimi, Ilmu al-Mantiq, (Jakarta :Pustaka Azzam, tt), h. 6
[6] Burhanuddin Salam,  Logika Formal (Filsafat Berpikir), (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h. 4-5
[7] Mundiri, Logika, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), Cet. Ke-6, h.2
[8] Ibid
[9] Baihaqi. A.K, Ilmu Mantik, Teknik Dasar Berpikir Logik, (Tk : Darul Ulum Press, 1998), Cet. Ke-2, h. 4
[10] Ibid. Lihat juga M.M. Syarif (ed.), Para Filosof Muslim, (Bandung : Mizan, 1998), h. 57
[11] Ibid
[12] Baihaqi. A.K, op.cit., h.5
[13]Jamaluddin Kafie, Logika, Form Berpikir Logis, (Surabaya : Karya Anda, tt), h.10
[14]Ibid, h.11
[15] Mundiri, op.cit., h.13
[16] Ibid., h. 14
[17] Ibid.

3 komentar: